Beranda

Bookmarks

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Labels

RSS

REORIENTASI PERAN PESANTREN, MADRASAH DAN SEKOLAH ISLAM


A.      Pendahuluan

Pendidikan merupakan elemen yang sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia indonesia[1] termasuk di dalamnya pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Dunia pesantren, dengan meminjam kerangka Hussein Nasr yang dikutip oleh Azyumardi Azra, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan oleh para ulama dari masa ke masa,[2] tidak terbatas pada periode tertentu. Oleh karena itu, ketahanan lembaga pendidikan Islam baik pesantren, madrasah maupun sekolah Islam secara implisit menunjukkan bahwa dunia Islam tradisi dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan di tengah arus modernisasi, meskipun bukan tanpa kompromi.
Pesantren merupakan institusi yang banyak dipuji orang, khususnya masyarakat muslim, demikian juga dengan keberadaan Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. Namun di saat yang sama sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Sama halnya Madrasah dan sekolah Islam sebagai lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh Departemen Agama, selama ini masih dipandang rendah kualitasnya oleh sebagian masyarakat. Bahkan rentang waktu perjalanan sekolah yang bernama madrasah di bumi pertiwi ini (baca; Indonesia) sangat panjang, dapat dikatakan hampir sama dengan irama dinamika dunia pendidikan di Indonesia. Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi, maka upaya-upaya yang ditujukan untuk mengembangkan kualitas agar citra sekolah ini tidak selalu menjadi nomor dua, setelah sekolah umum yang lain, banyak hal yang bisa dilakukan oleh stakeholder madrasah.
Sejalan dengan perkembangan global, pendidikan Islam menghadapi tantangan manajerial yang cukup mendasar. Harapan dari berbagai pihak agar pendidikan dikelola dengan pola “industry pendidikan” merupakan salah satu perkembangan yang muncul dalam era kompetitif saat ini. Manajemen pendidikan tidak lagi bisa dianggap sebagai manajemen sosialyang bebas dari keharusan pencapaian target dan dikendalikan oleh subyek yang berwawasan “sempit”, misalnya dengan pendekatan kekeluargaan seperti yang ada di sebagian pesantren di Indonesia. Sesuatu yang dapat dikembangkan mengenai peran madrasah, pesantren bahkan sekolah Islam sekalipun, adalah pada peran strategisnya dalam mengelola pola manajemen strategik yang dapat menghasilkan rumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan dalam hal ini disebut dengan Madrasah, Pesantren dan Sekolah Islam.[3]
Sekilas apabila diperhatikan, era globalisasi yang dijumpai masyarakat ternyata lebih memperkuat perhatian orang terhadap pesantren. Di antara penyebabnya adalah dimungkinkan karena adanya semangat untuk mencari pendidikan alternatif. Era global seakan mengharuskan seseorang atau bahkan kepada komunitas masyarakat secara luas untuk mencari, menggali dan mengembangkan pendidikan alternatif tersebut dan sekaligus untuk memperbesar peluang keunggulan terutama yang terkait dengan peran pesantren ,madrasah dan sekolah Islam yang ada di Indonesia ini.
Dalam tulisan ini penulis kemukakan beberapa poin sebagai berikut: 1) Menyoal tentang akar sejarah pesantren madrasah dan sekolah Islam, 2) Pesantren dan sistem pengembangannya, 3) Madrasah dan sekolah Islam serta upaya reformulasi sistem pengembangan, 4) Eksistensi pesantren, madrasah dan sekolah Islam, 5) Reaktualisasi peran strategis pesantren, madrasah dan sekolah Islam.

A.      Menyoal Tentang Akar Sejarah Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam
Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 – 15 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya berkiblat pada ajaran Walisongo. Misal pondok pesantren Nahdlatul Wathan di Pancor Lombok Timur NTB yang saat ini santrinya lebih dari sepuluh ribu orang[4] dan pondok pesantren yang lainnya yang tersebar di Pulau Jawa. Sedangkan Maksum, menyebutkan bahwa akar sejarah atau asal usul lembaga pendidikan Islam misal madrasah adalah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah Hijriyah.[5]
Mengawali asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren sama halnya dengan membahas sejarah madrasah dan sekolah Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini bernuansa religius atau dengan kata lain fokus studinya keagamaan di samping studi yang lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut juga menjadi program pembelajarannya.
Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20, sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren (waktu itu) yang dianggap sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu fardlu ’ain[6], terdapat dua hal yang melatar belakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia, pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa , Sumatera maupun Kalimantan. Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat . Dalam kenyataannya , pendidikan yang terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren, pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu langkah strategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikannya.[7]
Para ahli dimana pun juga, sepakat bahwa sistem pendidikan yang terkait perlu diperbaharui secara berkesinambungan, atas pemahaman tersebut pakar pendidikan mengambil langkah-langkah menuju perbaikan sistem pendidikan tradisional menuju sistem pendidikan modern yang dilengkapi dengan pola manejemen sebagai standar mutu. Bagi masyarakat luas, dengan tujuan supaya madrasah tidak dianggap sebagai salah satu pendidikan yang “bercirikan” tradisional, sehingga kiat-kiat untuk menepis anggapan masyarakat tersebut di atas diperlukan manajemen yang tertata dalam sistem pendidikan modern.

B.        Pesantren  dan sistem Pengembangannya
1.      Pengertian dan Latar Belakang Berdirinya pondok pesantren
Berbicara mengenai sejarah pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Karena Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia[8], sekalipun demikian informasi-informasi lain membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren, merupakan adaptasi dari sistem pendidikan yang telah dikembangkan sebelumnya. Pesantren, merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan Hindu Budha. Sebagaimana disebutkan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha, lalu Islam meneruskan dan meng-Islamkannya[9]
Dari penamaan pesantren sendiri terkait dengan terminology yang ada di kalangan Hindu. Kata pesantren berakar dari kata santri dengan awalan ”pe” dan akhiran ”an”. Menurut C.C.Berg istilah tersebut berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Sebenanya, pesantren memiliki hubungan historis dengan Timur Tengah. Terkait dengan pengaruh Timur Tengah ini sudah banyak yang membuktikan terutama mereka yang melakukan ibadah haji di Mekah dan Madinah. Mekah dan Madinah bagi ulama Indonesia tidak semata tempat untuk melakukan ibadah haji tetapi tempat untuk mencari ilmu, terutama dengan menghadiri pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.  Pesantren memang tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur Hindu yang sudah lebih awal ada di Indonesia dan unsur-unsur Islam Timur Tengah di mana Islam berasal.[10]
Penggunaan istilah “santri” bersamaan waktunya dengan munculnya pesantren sebagai lembaga pendidikan khas dan tertua di Indonesia. Pada akhir abad 19 pemerintah kolonial belanda mulai berupaya dengan politik etisnya menandingi pengaruhnya dengan dengan pola pendidikan klasikal. Santri yang dikenal dengan penghuni pesantren, bila dikaji, tentu tidak dipisahkan dari kyai yang membentuk watak dan karakternya. Dan pesantren, sebagai lingkungan kehidupannya akan mempengaruhi terbentuknya kepribadian para santri.[11] Disinilah fungsi pesantren yang sangat strategis sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki misi untuk mencerdaskan anak bangsa.
Dilihat dari fungsi dan kemanfaatan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki ciri khas,maka di daerah lain (luar jawa) hidup lembaga pendidikan Islam yang mempunyai fungsi dan kemanfaatn yang sama dengan nama yang berbeda, misalnya meunasah di aceh, Surau di Sumatera, Rangkang di Kalimantan. Bahkan menurut para ahli lain dikenal dengan sebutan zawiyah dimana letak bangunannya terpencil dari pusat keramaian dan sistem belajarnya melingkar yang sekarang dikenal dengan sistem bandongan.[12]
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sekurang-kurangnya mempunyai tiga ciri umum yaitu kyai sebagai figur setral, asrama sebagai tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat kegiatan, adanya pendidikan dan pengajaran agama Islam melalui sistem pengajian kitab metode wetonan, sorogan,  dan musyawarah, yang sebagaian sekarang telah berkembang dengan sistem klasikal atau madrasah.[13] Marwan saridjo juga mengatakan, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan pendidikan dan pengajaran dengan sistem wetonan, sorogan. Para santri disediakan pondokan ataupun merupakan santri yang dalam istilah pendidikan modern memenuhi kriteria pendidikan formal dan menyelenggarakan pendidikan formal berbentuk madrasah atau sekolah umum dalam berbagai bentuk tingkatan dan aneka kebutuhan masyarakat.[14] Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai misi sangat luas dan kompleks, yang terutama dan paling mendasar adalah Islamiyah.
2.      Sistem dan Pendidikian di Pesantren
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren mengajarkan materi pengajaran yang berkaitan dengan dengan hal-hal berikut.
1)      Pelajaran aqidah, yaitu pelajaran yang materinya berisi ilmu tauhid, keyakinan kepada Allah dengan mengesahkan-Nya. Dalam ilmu tauhid dikembangkan substansi materi yang berhubungan dengan rukun iman, yaitu iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada nabi dan Rasulnya, iman kepada Kitabnya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qada’ dan qadar.
2)      Pelajaran Syariah yang berhubungan dengan hukum Islam atau fiqh, yaitu fiqh ibadah dan fiqh muamalah.
3)      Pelajaran bahasa Arab, yaitu ilmu nahwa, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu balaghah, dan ilmu-ilmu ma’ani.
4)      Pelajaran ilmu-ilmu al-Qur’an (ulumul Qur’an)
5)      Pelajaran ilmu Musthalah Al-Hadis
6)      Pelajaran Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
7)      Pelajaran Ilmu Manthiq atau Logika
8)      Pelajaran etika Islam dalam pergaulan sehari-hari atau Bahrul Adab.
9)      pelajaran kerisalan Nabi Muhammad SAW
10)  Pelajaran tarikh tasyri’ Islam, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, Pendidikan kewarganegaraan, kimia, Fisika, matematika, ilmu waris Islam, ilmu falaq, Keterampilan, Fiqh Lima Mazhab, Ilmu Tafsir, ilmu Tajwid, dll.[15]  
Untuk menunjang pembelajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren, ada beberapa metode pembelajaran yang digunakan sebagai upaya untuk efektifitas dan efisiensi dalam pengajaran, yakni :
1)      Metode wetonan, yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para santri yang juga memegang dan memerhatikan kitab yang sama. Santri yang mengikuti metode pembelajaran sistem wetonan adalah santri yang sifatnya campuran, yakni santri mukim, santri kalong, santri umum. Kedangan santri hanya menyimak, mendengarkan dan memperhatikan pembacaan dan pembahasan isi kitab yang dilakukan oleh kyai.
2)      Metode sorogan, adalah metode pembelajaran sistem privat yang dilakukan oleh santri kepada seorang kyai dengan membawa ktab kuning atau kitab gundul, lalu membacanya dan menerjemahkan di depan kyai. Metode sorogan adalah metode yang sangat penting bagi santri karena metode sorogan, santri akan memperoleh ilmu yang meyakinkan dan lebih fokus kepada persyaratan utama menjadi kyai, yakni memahami ilmu alat dan ilmu-ilmu yang paling prinsipil di pondok pesantren.
3)      Metode Muhawarah. Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada santri selama mereka tinggal di pondok. Metode ini hanya dilakukan satu kali atau dua kali dalam seminggu yang digabungkan dengan latihan muhadrarah atau khitabah, yang tujuannya melatih keterampilan para santri untuk berpidato.
4)      Metode mudzakarah. Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah sepeti ibadah dan akidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah terdapat dua tingkat kegiatan: Pertama, mudzakarah dilakukan sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri dalam memecahkan persolan dengan mempergunakan kitab-kitab yang tersedia. Kedua, mudzakarah yang di pimpin oleh kyai, dan hasil, dan hasil mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi suatu tanya jawab dan hampir seluruh diselenggarakan dalam bahasa Arab.
5)      Metode bandungan (bahasa sunda), berlaku di pesantren yang terdapat di Jawa Barat. Istilah bandungan artinya perhatikan dengan seksama ketika kyai membaca dan membahas isi kitab. Santri hanya memberi kode-kode atau menggantikan kalimat yang dianggap sulit pada kitabnya. Setelah kyai selesai membahas isi kitab, santri diperkenankan mengajukan pertanyaan atau pendapatnya.
6)      Metode majelis taklim. Majelis taklim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka. Para jamaah terdiri atas berbagai lapisan yang memiliki latar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia atau jenis kelamin. Pengajian semacam ini hanya dilakukan dalam waktu tertentu saja dan dilakukan sekali dalam seminggu bahkan dua minggu sekali.[16]
3.      Pengembangan Sistem Pendidikan di Pesantren
Sistem adalah suatu keseluruhan yang bulat yang secara sendiri-sendiri (independent) atau bekerja sama untuk mencapai hasil atau tujuan yang di inginkan berdasarkan kebutuhan.
Pengembangan pendidikan pesantren diorientasikan kepada pengembangan kemajuan kurikulum pesantren dan profesionalitas para ustad di pesantren sehingga pelaksanaan kurikulum dengan kompetensi dan profesionalitas para ustad atau pendidik saling mendukung. Oleh karena itu, pengembangan-pengembangan pendidikan pesantren harus terus diupayakan dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas santri dan termasuk di dalamnya adalah lembaga pesantren itu sendiri. Adapun usaha pengembangan pendidikan pesantren adalah:
1)        Pengembangan lembaga pendidikan dan semua akomodasi, fasilitas, sarana dan  prasarananya.
2)        Perubah kurikulum, yaitu perpaduan antara ilmu agama Islam dan semua alatnya, serta ilmu pengetahuan umum, yang semua dipandang sebagai ilmu barat.
3)        Pengembangan metode pembelajaran. Kini jarang digunakan metode metode wetonan dan sorogan, metode pembelajaran di pesantren sama dengan di sekolah umum.
4)        Pengembangan kompetensi, profesionalitas dan sertifikasi pendidik atau guru di pondok pesantren. Sekarang, tidak sedikit ustad yang mengajar di pondok pesantren yang statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil.
5)        Pengembangan literatur pondok pesantren, yaitu pengembangan kepustakaan yang berasal dari Timur Tengah, seperti kitab kuning dan berbahasa Arab.
6)        Pengembangan jenis pendidikan, mulai sekolah dasar, sekolah menengah hingga pertguruan tinggi, kini banyak dikelola oleh pesantren.[17]    
Jadi, tujuan dari pengembangan sistem pendidikan pesantren tidak dapat dilepaskan dari keadaan dan situasi zaman yang terus berubah. Para santri tidak bisa bersembunyi dari berbagai pengaruh kuat globalisasi dan modernisasi sehingga para santri termotivasi untuk mengikuti arus zaman. Dalam hal inilah salah satu cara untuk mengembangkan sistem pesantren dengan menggabungkan antara pola-pola tradisional dengan semangat modernisasi.

C.      Madrasah dan Sekolah Islam serta upaya reformulasi Sistem pengembangan

Madrasah dan atau sekolah Islam adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia disamping masjid dan pesantren.kehadiran madrasah di Indonesia terjadi pada awal abad 20. Tampaknya tokoh Zainuddin Labay dapat disebut sebagai tokoh pertama yang tanggal oktober 1915 mendirikan lembaga pendidikan Islam (madrasah) di Padang Panjang, dimana pada saat itu telah memberikan pelajaran umum disamping pelajaran agama, sebelum berkembangnya lembaga serupa di daerah-daerah lain.[18]  
Secara historis, pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah. Pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kehawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat.[19] Jadi untuk menyeimbangkan perkembangan sekularisme, para reformis khususnya dari kalangan Muhamadiyah kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.
Pemerintah kolonial, ketika itu sangat khawatir madrasah akan melahirkan generasi yang menjadi penentang kekuasaannya. Tidak heran kalau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial, merupakan usahanya untuk mengkooptasi madrasah. Misalnya, guru madrasah wajib mempunyai izin dari penguasa, dan di bidang kurikulum, pelajaran yang diajarkan harus dilaporkan pada penguasa minta persetujuannya.[20]       
    Dibawah tekanan dan pengawasan ketata dari pemerintahan kolonial, madrasah ternyata mampu memantapkan eksistensinya di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Perkembangan itu akan lebih maju lagi terutama di daerah-daerah pelosok yang jauh dari pengawasan penguasa.
1.      Pengembangan Sistem Pendidikan Madrasah
Pengembangan sistem pendidikan madrasah berawal dari  pengembangan sistem pendidikan pesantren. Karena setelah terjadi perkembangan sistem pendidikan pesantren, semua pesantren menggunakan sistem pembelajaran berjenjang atau berjenis. Pembelajaran dilakukan secara klasikal, tidak lagi sistem tradisional, seperti halaqah atau sorogan. Meskipun masih tetap ada, tradisi itu dilaksanakan diluar pelaksanaan sistem yang berlaku secara baku.
Madrasah adalah nama lain dari sekolah. Kalau sekolah merupakan tempat belajar pengetahuan umum, sedangkan madrasah tempat pembelajaran ilmu agama Islam. Pengembangan sistem pendidikan madrasah dilakukan oleh pemerintah, didasarkan oleh Undang-Undang No.20 tahun 2003 pada pasal 13 dinyatakan bahwa, “jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan sebagaimana dijelaskan dalam pasal (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.[21] 
Pasal tersebut menjelaskan bahwa pendidikan madrasah pun diselenggarakan dengan sistem terbuka, baik melalui tatap muka maupun jarak jauh. Untuk pengembangannya, madrasah sebagai sekolah pendidikan ilmu agama Islam yang juga mengajarkan ilmu-ilmu umum secara islami.
Teori pengembangan sistem pendidikan madrasah yang telah dilaksanakan adalah dengan pendekatan-pendekatan berikut :
1)        Pendekatan struktural, yaitu sifat kejenjangan pendidikan yang linier di atur oleh pemerintah. Demikian pula, dengan pengembangan kelembagaan dengan kurikulumnya.
2)        Pendekatan normatif, sistem pendidikan madrasah disamakan dengan sistem pendidikan formal lainnya menurut undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, status jenis pendidikan madrasah tidak dianaktirikan.
3)        Pendekatan metodis pedagogis, yaitu pengembangan dari segi metode pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai secara kognitif, afektif, dan psikomotorik.
4)        Pendekatan intrinsik keagamaan, sebagai pendalaman ilmu pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan Islami yang bertujuan mewujudkan anak didik yang beriman dan bertakwa, cerdas, terampil, mandiri, dan bertanggung jawab.
5)        Pendekatan administratif, sebagai pengembangan keterpaduan tata kerja dan penyelenggaraan sistem pendidikan madrasah dengan sistem pendidikan sekolah formal lainnya.[22]






D.      Eksistensi Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding pesantren. Lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah Manbaul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Menarik untuk diamati mengapa sistem pendidikan pesantren sendiri justru tidak bersifat statis, tetapi selalu mengalami pertumbuhan seiring dengan perubahan masyarakat yang terjadi. Demikian juga madrasah dan sekolah Islam di Indonesia selalu melakukan terobosan-terobosan guna mempertahankan eksitensinya.[23]
Pembaharuan tersebut menurut Mastuhu, meliputi tiga hal,yaitu: (1) Usaha menyempurnakan sistem pendidikan pesantren, (2) Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan (3) Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.[24]
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di dalam salah satu diktum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri) disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[25]
Aktivitas yang berorientasi pada tujuan, perlu dicapai melalui jalan menetapkan hubungan tertentu antara sumber daya yang tersedia (sumber daya material dan moneter). Hubungan tersebut berkembang dengan sebuah pola yang berubah secara konstan satu sama lain, dan bagaimana mereka dipengaruhi satu sama lain dalam kehidupan keorganisasian mereka.
Tindakan bekerja melalui pihak lain, untuk mencapai sasaran-sasaran keorganisasian. Untuk memperoleh manfaat hasil yang maksimum baik dari bakatnya sendiri maupun bakat pihak lainnya diperlukan melalui pembagian kerja, penugasan tanggung jawab bidang-bidang terbatas kepada individu atau kelompok. Keterlibatan aktif dengan keputusan-keputusan, evaluasi dan seleksi alternatif atau problem-problem keputusan manajemerial. Dalam jangka panjang seluruh masa depan suatu lembaga pendidikan (madrasah) misalnya bergantung pada tingkat hingga di mana keputusan-keputusan “tepat” diambil oleh para pengambil kebijakan.
Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Secara yuridis, keberadaan madrasah dijamin oleh undang-undang SKB tiga menteri (menag, Mendikbud dan Mendagri) Tahun 1975 kedudukan madrasah sama dan sejajar dengan sekolah formal lainnya. Direvisinya Undang-Undang no. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan Undang-Undang No. 20/2003 yang secara eksplisit mengakui lembaga pendidikan Islam dari tingkat dasar sampai pendidikan menengah (RA, MI, MTs, MA dan MAK) sebagaimana tercantum dalam pasal 17, 18, 28 serta pendidikan agama berupa pesantren (pasal 30 ayat 4)[26] merupakan momentum nasional bahwa pendidikan agama sangat diperhatikan dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah.[27] Kurikulum yang digunakan pun secara umum mengacu kepada kurikulum Dinas dan ditambah kurikulum agama yang dikeluarkan oleh Depag. Oleh karena itu secara teoritis, madrasah seharusnya mampu memberikan nilai lebih bagi para siswanya dibanding sekolah umum.[28]
 Yang menjadi persoalan di sini adalah ”apa yang dicari ” pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia itu memang ada? Dan bagaimana eksistensinya tersebut. Seberapa tinggi peluang untuk menjadikannya sebagai ”alternatif” atau sebagai ”keunggulan”? Persoalan tersebut disebabkan madrasah tidak hanya menawarkan peserta didiknya memiliki kematangan intelektual semata melainkan juga memiliki kematangan mental dan spiritual.



E.       Reaktualisasi Peran strategis Pesantren , Madrasah dan Sekolah Islam

Sudah banyak diketahui bahwa peran pesantren secara konvensional adalah melakukan proses transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama’, dan mempertahankan tradisi. Dalam perkembangan modern, pesantren, madrasah dan sekolah Islam menghadapi tantangan baru, di mana ketiga lembaga Islam tersebut tidak bisa mengelak dari proses modernisasi itu. Dampak dari modernisasi setidaknya mempengaruhi pesantren, madrasah dan sekolah Islam tersebut dari berbagai aspeknya . Di antaranya adalah sistem kelembagaan, orientasi hubungan kiyai-santri, kepemimpinan dan peran pesantren, madrasah dan sekolah Islam.Orientasi peran pesantren, madrasah dan sekolah Islam sangat dipengaruhi oleh faktor internal pesantren, terutama santri dan karisma kiyainya, dan faktor luar, perkembangan dan tuntutan zaman (sebut saja pengaruh globalisasi). Mencermati perkembangan globalisasi yang kian marak ini, bisa dipastikan banyak orang yang ”meyakini” bahwa peran pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam menyebarkan Islam di bumi Nusantara ini.[29]
Proses globalisasi yang terus menemukan momentumnya sejak dua dasawarsa menjelang millenium baru telah memunculkan wacana baru dalam berbagai lapangan kehidupan literatur akademik,  media massa, forum-forum seminar, diskusi, dan pembahasan dalam berbagai lembaga. Penggunaan istilah ”globalisasi ” semakin meluas termasuk di Indonesia, penggunaan istilah lain seperti ”kesejagatan” tidak cukup reperesentatif untuk menampung semua makna dan nuansa yang tercakup dalam istilah ”globalisasi”. ”Globalisasi” adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada ”bersatunya” berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Secara denotatif ”globalisasi ” berarti perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antar manusia , organisasi-organisasi sosial , dan pandangan –pandangan dunia. Beberapa pesantren yang awalnya, hanya mengajarkan kitab-kitab kuning dan bertujuan mencetak kader ulama’, kemudia berubah dengan menawarkan sekolah formal, seperti madrasah atau sekolah , adalah bukti pesantren mengalami perubahan orientasi.[30]
Perubahan ini terutama sekali dipengaruhi oleh faktor kiyai, yang dalam pesantren tradisional adalah pemilik sekaligus pemimpin absolut dari pesantren tersebut. Persinggungan kiyai-kiyai tradisional dengan budaya luar, baik melalui ibadah haji maupun kegiatan lainnya, turut menyumbangkan gagasan pembaruan yang dilakukan kiyai. Para Kiyai yang sudah ”modern” itu beranggapan bahwa santri tidak cukup dibekali dengan pengetahuan agama semata, melainkanharus memiliki tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupannya ketika terjuan dan kembali kemasyarakat.[31]
Beberapa pesantren yang membuka sekolah dan madrasah formal, selain karena gagasan pembaruan kiyai, juga disebabkan karena tuntutan zaman. Oleh karenanya pesantren-pesantren yang membuka sekolah dan madrasah sedikit banyak dipengaruhi oleh akhlak mulia. Pada awal kemerdekaan, negara banyak membutuhkan pegawai negeri sipil. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pesantren tidak tinggal diam. Pendirian sekolah dan madrasah adalah bentuk respon pesantren atas kelangkaan pegawai negeri sipil. Pesantren berharap, stock PNS dari lulusan pesantren memiliki kelebihan di bidang akhlaknya dibanding lulusan dari sekolah biasa.[32]
Dalam perkembangan modern seperti saat ini, tuntutan peran pesantren semakin kompleks. Problem-problem sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat, seperti masalah disintegrasi, kemiskinan, kemunduran akhlak sudah semakin terbuka dan merajalela di masyarakat. Pesantren diharapkan tidak saja mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan faham keagamaan, tetapi juga diharapkan dapat terlibat menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut.
Dengan demikian, esensi peran strategis pesantren, madasah dan sekolah Islam ada dua pokok, yaitu mencetak kader ulama’ yang mendalami ilmu agama dan pada saat yang sama mengetahui, terampil, dan peduli terhadap persoalan keummatan. Pesantren adalah tempat untuk mencetak  kader  yang bagus agamanya  dan pandai menghadapi persoalan umat.[33]
Dengan peran semacam ini, dimungkinkan pesantren, madrasah dan sekolah Islam terlibat maksimal dalam membangun bangsa ini. Melalui pesantren, madrasah dan sekolah Islam, para santri atau siswa belajar ilmu-ilmu agama dan ilmu sosial yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan seterusnya pesantren menjadi lembaga pengkaderan bagi santri atau siswa yang kelak siap terjun di masyarakat.
Mencermati peran strategis pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia seperti tersebut di atas, diharapkan dapat mengembalikan kejayaan umat Islam yang pernah menyinari dunia dengan ilmunya. Saat itu, Islam menjadi pusat peradaban di mana di tempat lain sedang mengalami kegelapan. Saat negara dan bangsa lain terkungkung dalam kemunduran dan kemiskinan, Islam maju meninggalkan negara dan bangsa lain. Kemajuan ini diperoleh karena perhatian serius Islam terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, disamping tetap mempertahankan ilmu agama Saat itu, tidak ada dikhotomi ilmu agama dan umum. [34]
Islam mengalami kemunduran saat terkungkung dengan taklid dan mengabaikan ilmu pengetahuan. Ketika Islam meninggalkan ilmu pengetahuan dan mengalami kejumudan, negara dan bangsa lain bangkit dari keterpurukan. Akhirnya, kini dalam beberapa kurun waktu Islam mengalami keterpurukan. Oleh karena itu sudah saatnya pesantren, madrasah dan sekolah Islam mengangkat keterpurukan bangsa Indonesia khusunya dan umat manusia
pada umumnya saat ini. Peran-peran madrasah dan pundi-pundi keilmuan seperti Baitul Hikmah pada zaman kejayaan Islam, yang telah memberi sumbangan berarti bagi kemajuan Islam, dapat ditransfer oleh pesantren, madrasah dan sekolah Islam untuk dapat diterapkan saat ini, sehingga ketiga lembaga Islam tersebut menjadi laboratorium ilmu pengetahuan agama dan pusat riset kegiatan ilmiah.[35] Dengan menjadi pusat riset ilmu pengetahuan, prediksi Nurcholis Madjid, tentang Universitas Tebuireng, Universitas Tremas, Universitas Lirboyo, dan Universitas Pesantren lainnya di Indonesia dapat terwujud. Dengan begitu, kemajuan Islam dapat diraih kembali. Lebih dari itu peran pesantren yang utama adalah lulusannya diharapkan memiliki kelebihan dari sisi akhlakul karimah, karena pesantern sudah semestinya menjadi pengawal bagi akhlak yang terpuji ini. [36]

F.       P e n u t u p
Di akhir tulisan sederhana ini penulis memiliki pertanyaan: ”mungkinkah pesantren, madrasah dan sekolah Islam” menjadi besar ? pertanyaan ini tidak untuk dijawab mungkin atau tidak, tetapi harus dijawab dengan kata HARUS. Mengapa harus, karena pesantren, madrasah dan sekolah Islam harus menjadi besar seiring dengan ekspektasi masyarakat yang semakin besar terhadap pesantren, madrasah dan sekolah Islam, terutama setelah pendidikan yang lain tidak mampu memenuhi tuntutan mental dan akhlak yang diharapkan masyarakat. Pesantren dimulai dengan menetapkan visi dan misi (tujuan ) yang tepat, yaitu mencetak kader yang ahli di bidang agama dan mumpuni dalam urusan sosial, kemudian bersama pemerintah membangun kemitraan untuk merumuskan kebijakan dan program pengembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam di masa depan. Saran sederhana misalnya dengan mengacu kepada system mutu sekolah formal yang tersandarisasi dan aspek manajerial yang berbasis industri ( dengan tetap mengacu kepada Qur’an Hadis )













DAFTAR PUSTAKA


 Arief,  Armani, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta, CRSD PRESS, kerjasama dengan Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007)

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Ciputat, PT. LOGOS Wacana Ilmu, cet.II, 2000)

__________ Azyumardi Azra dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No.
                 2 November 2007

Abdurrahman, Mas’ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), 2002

Basri,Hasan, dkk. Ilmu Pendidikan Islam (jilid II), (Bandung, Pustaka Setia, 2010)

Haedari, Amin, dalam Jurnal Mihrab Vol. II, no 1 Juli 2007

___________ dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 1 Juli 2007 ,

 Maulana,Agus. MSM. dalam Pearce Robinson, Manajemen Strategik, Formulasi, Implementasi dan pengenalian ,(Jakarta, Binarupa Aksara, 1997)

Maksum,  Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, ( PT Logas Wacana Ilmu, 1999)

Madjid, Nurcholis,  Bilik-Bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta, Paramadina,1977)

Mahfud, Sahal, KH. Pesantren Mencari Makna, ( Ciganjur Jakarta, Pustaka Ciganjur,
                     1999 )

Mastuhu,  Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta, PT Logas Wacana Ilmu, 1999)

Saridjo, Marwan, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Dharma Bakti, Jakarta, 1979)

UIN Sunan Kalijaga, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Departemen Agama: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006)

Undang-Undang Sistem Pendidikan No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, (Bandung, Citra Umbara, 2010)





















[1] Armani Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta, CRSD PRESS, kerjasama dengan Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007), hlm. 65
[2] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Ciputat, PT. LOGOS Wacana Ilmu, cet.II, 2000), hlm. 107
[3]Agus Maulana, MSM dalam Pearce Robinson, Manajemen Strategik, Formulasi, Implementasi dan pengenalian, Jakarta, BinarupaAksara, 1997, hlm. 20
[4] Mas’ud Abdurrahman, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 4
[5] Maksum,  Madrasah Sejarah dan Perkembangannya,  PT Logas Wacana Ilmu, 1999, hlm. 60
[6] Mas’ud,  Dinamika, hlm. 241
[7] ibid
[8] Haedari Amin, Dalam jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II, no. 1 Juli  2007, hlm. 34
[9] ibid
[10] ibid
[11] KH. MA. Sahal Mahfud, Pesantren Mencari Makna, (Jakarta, Pustaka Ciganjur, 1999), hlm. 41
[12] UIN Sunan Kalijaga, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Departemen Agama: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006, hlm. 95
[13] Ibid, hlm 96
[14] Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Dharma Bakti, Jakarta, 1979),
hlm. 9
[15] Hasan Basri, dkk. Ilmu Pendidikan Islam (jilid II), (Bandung, Pustaka Setia, 2010), 235-236
[16]   Ibid, 238
[17] Ibid, hlm. 242
[18] Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta, UIN Yogyakarta, 2006), hlm. 98
[19] Armani Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, hlm. 58
[20] Ibid, hlm. 59
[21] Lihat Undang-Undang Sistem Pendidikan No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, (Bandung, citra Umbara, 2010)
[22] Hasan Basri, dkk. Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 245
[23] Ibid, 226
[24] Mastuhu,  Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta, PT Logas Wacana Ilmu, 1999, hlm. 226
[25] ibid
[26] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
[27] Armani Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, hlm. 65
[28] Mifathul Haq, Bakti, No.1302002, hlm. 26

[29] KH. MA. Sahal Mahfud, Pesantren Mencari Makna, ( Ciganjur Jakarta, Pustaka Ciganjur, 1999 ) hlm. 1
[30] Azyumardi Azra, dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II No. 2 November 2007, hlm. 6
[31] ibid
[32] Amin haedari, Jurnal, hlm.34
[33] ibid
[34] ibid
[35] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, sebuah Potret Perjalanan, Jakarta, paramadina,1977, hlm. 52
[36] ibid

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text

Sample text

300 x 250 Ad

Ads 468x60px

Postagens populares

Followers

Sidebar menu