A. PENDAHULUAN
Dalam satu atau dua dekade terakhir, perkembangan kajian hermeneutika di Indonesia sedang tumbuh subur dan “menggairahkan”, meskipun baru dalam dunia perguruan tinggi dan kalangan akademis. Perkembangan itu ditandai oleh beberapa kajian-kajian yang disuguhkan oleh sekian banyak peminat dan pecandu metode hermeneutika dalam epistemologi keilmuan untuk mengungkap misteri di balik fenomena teks-teks kitab suci. Di Perguruan Tinggi UIN Sunan KalijagaYogyakarta sendiri tidak sedikit dosen-dosen yang telah menghasilkan beberapa karya mereka sebagai bentuk konstribusi dalam mengembangkan paradigma epistemologis hermeneutik. Sebut saja M. Amin Abdullah, Sahiron Syamsudin, Yudian Wahyudi, dll. Sekalipun disisi lain konsep-konsep mereka menuai kritikan dan kontroversi.
Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks dan terbuka di dalam memahami pesan-pesan ketuhanan. Dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara atau hermeneutik teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutik kritis.
Problema hermeneutik dalam kajian agama, lebih- lebih filsafat, makin bertambah penting mengingat penafsiran ulang terhadap suatu teks. Dalam proses menerjemahkan ( baca: menafsirkan) tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historisitas yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekedar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Namun di balik proses hermeneutik berjubel-jubel elemen lain yang saling berkait, seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
Secara historis, penggunaan hermeneutika dapat ditemukan dalam karya-karya klasik pemikir Yunani kuno, seperti tulisan Aristoteles Peri Hermenias atau de intepretatione. Minat utama Aristoteles dan pemikir-pemikir masa tersebut adalah intepretasi terhadap ungkapan-uangkapan, baik lisan maupun tulisan, yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda. Asumsi hermeneutika pada masa tersebut bersifat personal, bahwa setiap orang mempunyai pengalaman-pengalaman mental sendiri-sendiri sehingga berpengaruh terhadap cara pengungkapan dan gaya bahasa yang berbeda pula. Oleh karena itu, tujuan hermeneutika pada masa itu antara lain untuk memahami bentuk-bentuk ekspresi manusiawi dari peristiwa mental manusia.[1]
Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah postmodernisme, hermeneutika mulai berperan sebaga salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Ia tidak lagi sebagai teori penafsiran, akan tetapi menempatkan diri sebagi kritikus metode penafsiran. Hermeneutika di sini mulai berubah menjadi “metateori tentang teori intepretasi”.[2]
Olek karena itu, Dalam makalah ini, penulis tidak akan membahas secara keseluruhan tentang konsep-konsep hermeneutika yang dikembangkan oleh beberapa filosof, tapi akan dibatasi pada pemikiran Epistemologi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer. Alasannya agar kita lebih fokus memahami hasil karya besar seorang Hans-Georg Gadamer yang ditulis dalam buku “ Truth and Methode “ dan karya-karyanya yang lain, yang kemudian akan dikembangkan dalam konteks relevansinya bagi pendidikan ( Islam ).