Beranda

Bookmarks

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Labels

RSS

MEMBANGUN PARADIGMA PENDIDIKAN MORAL YANG BERKARAKTER ISLAMI (Kajian Tekstual terhadap Surah Lukman ayat 12-19: upaya integrasi “hidden Curicullum” pada setiap mata pelajaran)


A.       Pendahuluan
Globalisasi sebagai sebuah proses bergerak sangat amat cepat dan meresap dalam segala aspek kehidupan kita baik aspek ekonomi, politik, sosial budaya maupun pendidikan.   Gejala khas dari proses globalisasi ini adalah kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi komunikasi-informasi dan teknologi transportasi. Kemajuan-kemajuan teknologi rupanya mempengaruhi begitu kuat struktur-struktur aspek vital kehidupan umat manusia, terutama dalam konteks pendidikan, sehingga globalisasi  menjadi realita yang tak terelakkan dan menantang. Namun, globalisasi sebagai suatu proses bersifat ambivalen. Satu sisi membuka peluang besar untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi disisi lain peradaban modern yang semakin dikuasai oleh budaya ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tampak lepas dari kendali dan pertimbangan etis. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akibat globalisasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan di bidang moral, ahlak dan ibadah sebagai akar pembentukan karakter manusia Islami sebagaimana yang di syaratkan oleh Al-Qur’an dan Sunah yang menjadi sumber pokok dan referensi pendidikan Islam.
Lantas bagaimana peran pendidikan dalam menjawab tantangan gobal tersebut? Banyak kalangan menilai bahwa pendidikan nasional (termasuk pendidikan Islam ) telah “gagal” mebentuk karakter manusia yang mampu membaca perubahan. Minimal ada tiga alasan pokok, Pertama, Kurikulum pendidikan tidak dirancang untuk meyiapkan peserta didik yang  memiliki mentalitas  tangguh dalam menjawab arus perubahan global yang hadir tanpa kompromi. Kedua, realitas bangsa dalam konteks kekinian,  dimana kasus korupsi, kolusi, married by accident (MBA), mafia hukum/pajak praktis menjadi tontonan yang tidak pernah usai dan anehnya dianggap biasa saja.[1] Belum lagi banyak pelajar yang terlibat dalam kasus narkoba, aborsi, tawuran serta prilaku asusila lainnya. Ketiga,  Objective Test atau kecakapan intelektual menjadi standar penilaian mutlak bagi kelulusan peserta didik, tanpa melibatkan aspek moralitas (akhlak), budi pekerti dalam proses penilain.
Sejarah menunjukkan, para pendiri republik dalam deklarasi kemerdekaan  (pembukaan UUD 1945 meletakkan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai misi penyelenggaraan pemerintah Negara Republik Indonesia melalui penyelenggaraan sistem pendidikan nasional,[2] tetapi sejak lahirnya UU tentang pendidikan No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (Sisdiknas), selalu menempatkan pendidikan moral sebagai salah satu misi utamanya.
 Kutipan berikut  menunjukkan betapa pendidikan nasional kita dirancang sebagai pendidikan moral, atau dalam bahasa Martin Buber ‘pendidikan karakter.[3] Dalam rumusan UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan. [4]
Dari kutipan di atas, secara jelas menekankan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah pendidikan karakter, pendidikan moral, manusia yang susila, bertanggung jawab, dan demokratis, disamping cakap (cerdas) adalah wujud manusia yang bermoral; manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berbudi luhur, yang berkepribadian, mantap dan mandiri.
Artikel  ini, penulis tidak dan atau sedang menghakimi proses pendidikan yang sedang berjalan, tapi lebih sebagai  otokritik, yang kemudian menawarkan konsep pendidikan dalam al-Qur’an surah Lukman sebagai solusi dalam problem pendidikan Nasional. Dalam Surah Lukman itulah “roh” pendidikan harus dikembalikan dalam rangka menyelamatkan anak-anak bangsa dari sifat-sifat amoral, yang pada akhirnya pendidikan tidak hanya bernilai epistemologis tetapi juga mengandung aspek ontologis, axiologis sekaligus teologis, sehingga mampu menjawab tantangan dan realitas global.
Melihat fenomena di atas, maka pendidikan harus kembali pada nilai-nilai dasar Al-qur’an sebagai acuan dalam rangka menetukan visi-misi pendidikan itu sendiri, karena pada prinsipnya Al-qur’an secara universal mengandung segala aspek kehidupsn manusia dengan konsep-konsep dasar yang secara simple dapat mengarahkan manusia untuk mematuhi aqidah, syari’ah dan etika (akhlaq) yang digariskan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup duniawi dan ukhrawi.[5] Untuk mewujudkan hal itu perlu pembinaan (pendidikan) yang meliputi unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu, pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika. Sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan.
Dengan penggabungan unsut-unsur tesebut, terciptalah makhluk dwi dimensi dalam suatu keseimbangan, dunia dan akhirat , ilmu dan amal, atau yang populer disebut pendidikan iptek dan pendidikan imtaq, sehingga menjadi manusia seutuhnya. Oleh karena itu, materi-materi pendidikan yang disajikan al-Qur’an hampir selalu mengarah kepada pengembangan jiwa, akal dan jasmani manusia.[6]
Beberapa aspek inilah yang melatar belakangi  penulis tertarik untuk mengkaji tentang Surah Lukman ayat 12-19, yang di dalamnya mengandung pesan-pesan moral yang esensial bagi manusia. Disamping pesan moral yang dimaksud dapat juga diambil ibroh sebagai elan vital pendidikan yang akan memproduk generasi bangsa yang berkarakter Islami. Untuk lebih fokus dan  sistematisnya pembahasan artikel ini, penulis akan mengangkat  beberapa persoalan penting di antaranya:  Pertama. Bagaimana urgensi pendidikna moral dalam membentuk karakter yang Islami?, kedua, Bagaimana tipologi atau konsep pendidikan dalam Surah Lukman ayat 12-19? Ketiga, bagaimana Konseptualisasi dan relevansi Surah Lukman ayat 12-19 terhadap paradigma pendidikan moral  yang berkarakter Islami serta bagaimana pendekatan-pendekatan penanggulangan krisis moral?  Selanjutnya metode yang digunakan adalah metode tekstual dengan menganalisis secara mendalam dengan pendekatan epistemologis historis.
B.       Urgensi Pendidikan Moral dalam Membangun Karakter : Catatan Terhadap Nilai yang terlupakan

Sebagai yang diulas pada bagian pendahuluan, tujuan pendidikan yang tertulis dalam UU Pendidikan Nasional hakikatnya mengandung misi pendidikan moral dan karakter. Tetapi, seperti yang disinyalir sementara orang, justru pada dimensi pendidikan moral, penyelenggara pendidikan kurang sungguh-sungguh melaksanakannya. Padahal kurikulum pendidikan nasional kita selalu memuat pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila (era Orde Baru), dan di era reformasi menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Pertanyaannya mengapa dimensi pendidikan yang dalam tujuannya mengandung pendidikan moral dan karakter dalam penyelenggaraannya ditunjang secara khusus  mata pelajaran yang materinya memuat pokok-pokok bahasan yang mengandung pendidikan moral dan dalam kenyataan kurang berhasil melahirkan lulusan yang berkarakter, seperti meningkatnya prilaku korupsi, pelajar terlibat narkoba, aborsi, dan seterunya sebagaimana yang telah disebut di atas.
Pendidikan moral hakikatnya adalah pendidikan yang terkait dengan upaya menanamkan nilai-nilai dalam diri peserta didik agar menjadi manusia dewasa yang dalam tingkah lakunya berupaya untuk tidak melanggar kaidah hukum dalam masyarakat Negara dan norma-norma yang berlaku dalam agama. Wujud keberhasilan pendidkan moral bukannya kesempurnaan lulusan menjelaskan aliran-aliran yang harus diikuti dan ditekuni melainkan dalam wujud tingkah laku yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma yang harus diikuti.  
Masalah uatama yang kita hadapi sampai sekarang adalah apapun mata pelajaran yang dijadikan obyek belajar, ukuran keberhasilannya adalah menjawab pertanyaan  atau menjelaskan suatu pengertian. Ini sering disebut sebagai terlalu mengutamakan kecerdasan. Bentuk seperti ini bukan mengukur kecerdasan melainkan hanyalah tingkatan paling dangkal dari dimensi kognitif. Karena kognitif itu meliputi memahami, dapat menganalisis, dapat menilai, dapat mensitesakan dan yang paling tinggi dapat menerapkan. Inilah yang benar-benar terkait dengan kiecerdasan intelektual. [7] karena itu dalam pandangan penulis yang tidak berhasil bukan hanya pendidikan moral tetapi juga pendidikan kecerdasan dan keilmuan.
Praktik pendidikan ilmu pengetahuan yang penulis pandang tidak efektif itu tampaknya berlangsung juga di pendidikan moral. Padahal pendidikan moral dan karakter lebih dari pendidikan intelektual, memerlukan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayatinya sehingga bermakna sebagai  proses pembudayaan.  Kaitannya dengan itu, maka pendidikan memiliki dua fungsi utama, Pertama, fungsi konservatif adalah bagaimana mewariskan dan mempertahankan cita-cita dan budaya suatu masyarakat kepada generasi penerus. Kedua, fungsi progresif, bagaimana aktifitas pendidikan dapat memberikan bekal ilmu pengetahuan dan pengembangannya, penanaman nilai-nilai dan bekal keterampilan mengantisipasi masa depan, sehingga generasi penerus mempunyai bekal kemampuan dalam kesiapan untuk menghadapi tantangan masa kini dan mendatang.[8] Dalam arti progresif, pendidikan dituntut dapat memberikan solusi atau paling tidak tawaran pemecahan bagi masa depan peserta didik ditengah perubahan masyarakat mendatang.[9]   
Mengingat pentingnya pendidikan moral , Noeng Muhadjir menegaskan bahwa masyarakat manusia dapat survive karena adanya komitmen pada nila-nilai moral. Bila semua orang tidak pernah menaati janjinya, tidak acuh pada tanggung jawab, curang, pempermainkan aturan-aturan moralitas, dapat dibayangkan hancurnya masyarakat manusia.[10] Disinilah urgensi pendidikan moral yang dapat membangun karakter manusia. Dengan pendidikan, subyek tidak dapat dibantu memahami esensi dan arti penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu dalam prilaku nyata, baik nilai-nilai ilahi maupun insani.[11]  

C.        Tipologi Pendidikan dalam surah Lukman al-Hakim
Surah Luqman (Arab: ﻠﻗﻣﺎﻦ" adalah surah ke 31 dalam Al Qur an terdiri dari atas 34 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Surah ini diturunkan setelah surah As-Saffat. Surah Luqman adalah surah yang turun sebelum Nabi Muhammad SWT berhijrah ke Madinah. Nama Luqmna diabadikan sebagai nama salah satu surah dalam Al Quran. Penamaan surah ini dengan surah Luqman sangat wajar, karena nama dan nasihat beliau sangat menyentuh. Dan memuat nasihat Luqman kepada putranya nasihat itu yang tertuang dalam ayat 12-19.[12]
Penamaan surah Luqman diambil dari kisah tentang Luqman yang diceritakan dalam surah ini tentang bagaimana ia mendidik anaknya. Isinya banyak menekankan pada masalah-masalah akidah dan dasar keimanan, seperti keesaan, kenabian, hari kebangkitan dan tempat kembali serta perintah untuk berdakwa dengan kata-kata yang bijak. Surah Luqman termasuk di dalam kumpulan surah-surah Makkiyyah kecuali ayat 27, 28 dan 29 ayat Madaniyyah. Manakala ayat 34 turun  selepas surah al-Saffa. [13]
Surah ini diturunkan disebabkan bani Quraish senantiasa menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang kisah Luqman bersama anaknya dan tentang berbuat baik kepada kedua ibu bapak. Ayat 13-19 menceritakan secara khusus tentang pendidikan. Berikut beberapa nilai pendidikan yang terkandung dalam Surah Lukman, yakni:




1.      Pendidikan Aqidah
Pendidikan aqidah terdiri dari pengesaan Allah, tidak mensyarikatkan-Nya, dan men mensyukuri segala nikmat. Larangan mensyarikatkan Allah swt. Termuat dalam ayat yang berbunyi:
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  

 “Dan Ingatlah ketika Lukman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberi pelajaran kepada anaknya, hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” (ayat 13)[14]

Pada ayat ini, lukman memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anaknya berupa akidah yang mantap, agar tidak mentekutukan Allah. Itulah aqidah tauhid, karena tidak ada Tuhan selain Allah, karena yang selain Allah adalah mahluk.
Ayat ini mendidik manusia bahwa keyakinan pertama dan utama yang perlu ditanamkan kepada anak (peserta didik) adalah tauhid. Kewajiban ini terpikul di pundak orang tua sebagai pendidik awal dalam pendidikan informal. Demikian juga yang harus dilaksanakan oleh pendidikan formal dan non formal. Tujuannya agar anak  (peserta didik) terbebas dari perbudakan materi dan duniawi, sehingga keyakinannya mantap dan akidahnya kokoh, serta keyakinan itu perlu diresapkan sedini mungkin di saat anak telah mulai banyak bertanya kepada orang tuanya.[15]
Sedangkan perintah bersyukur dijelaskan ayat yang berbunyi :
$uZøŠ¢¹urur z`»|¡SM}$# Ïm÷ƒyÏ9ºuqÎ/ çm÷Fn=uHxq ¼çmBé& $·Z÷dur 4n?tã 9`÷dur ¼çmè=»|ÁÏùur Îû Èû÷ütB%tæ Èbr& öà6ô©$# Í< y7÷ƒyÏ9ºuqÎ9ur ¥n<Î) çŽÅÁyJø9$# ÇÊÍÈ  
Dan kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada ibu bapak, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku  dan kedua ibu bapak mu, hanya kepadaku tempat kembali” (ayat 14)   
Pada ayat ini Tuhan memerintahkan kepada manusia agar mereka menghormati, memuliakan dan berbuat baik kepada ibu bapaknya, sebab karena keduanyalah manusia dilahirkan ke muka bumi. Oleh sebab itu sudah sewajarnyala keduanya dihormati dan dimuliakan.[16]

2.      Pendidikan Ibadah
Pendidikan ibadah mencakup segala tindakan dalam kehidupan sehari-hari, baik yang berhubungan dengan Allah seperti shalat, maupun dengan sesama manusia, maupun dengan sesama manusia. Hbungan kepada Allah swt. dalam bentuk sholat ini dinyatakan oleh ayat 17, yang berbunyi:
¢Óo_ç6»tƒ ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# ÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºsŒ ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ  
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah”.[17]

Pada ayat iniAllah mengabadikan empat bentuk nasihat mengabadikan empat bentuk nasihat Lukman untuk penetapan jiwa anaknya, yaitu: a) dirikanlah shalat, b) menyuruh berbuat yang baik (makruf), c) mencegah berbuat munkar, d) bersabar atas segala musibah. Inilah empat modal hidup yang diberikan  Lukman kepada anaknya dan diharapkan menjadi modal hidup bagi kita semua yang disampaikan muhammad kepada umatnya.
Ayat ini mendidik manusia yang diawali dengan pemantapan jiwa dengan mendirikan shalat, diikuti sebagai pelopor untuk perbuatan ma’ruf, berani menegur yang salah , mencegah yang munkar, dan bila dalam melakukan itu semua terdapat rintangan, maka dibutuhkan sifat sabar dan tabah. Sesungguhnya yang demikian itu oleh Allah swt. dengan demikian ayat ini memberi indikasi bahwa shalat sebagai peneguh pribadi, amar makruf nahi munkar dalam hubungan masyarakat, dan sabar untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

3.      Pendidikan Akhlaq
Ayat mengenao pendidikan akhlaq dijelaskan dalam beberapa ayat, seperti ayat 15, yang berbunyi :
bÎ)ur š#yyg»y_ #n?tã br& šÍô±è@ Î1 $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïæ Ÿxsù $yJßg÷èÏÜè? ( $yJßgö6Ïm$|¹ur Îû $u÷R9$# $]ùrã÷ètB ( ôìÎ7¨?$#ur Ÿ@Î6y ô`tB z>$tRr& ¥n<Î) 4 ¢OèO ¥n<Î) öNä3ãèÅ_ötB Nà6ã¥Îm;tRé'sù $yJÎ/ óOçFZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÎÈ  
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembali, maka kuberikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.[18]

Pada ayat ini Tuhan mengingatkan, jika ibu bapakmu  memaksa seorang anak untuk syirik, murtad dan kafir, maka tidak perlu diikuti. Mungkin suatu waktu seorang anak yang setia kepada orang tuanya  didesak, dikerasi dan kadang-kadang dipaksa oleh orang tuanya untuk mengubah pendirian yang telah diyakini. Demikian yang diperintahkan Allah SWT hal ini menunjukkan bahwa dalam hal aqidah tidak dapat ditawar-tawar sekalipun oleh orang tua sendiri.[19]
Ayat ini mendidik manusia agar mendahulukan dan mengutamakan aqidah tauhid dan tidak boleh syirik. Perbedaan aqidah si anak dan orang tua tidak boleh menghalangi pengaulan  baik selama hidup di dunia, namun sangat dianjurkan supaya si anak selalu mengajak orang tuanya kepada agama tauhid. Kalau tidak berhasil, maka segala sesuatu diserahkan Allah swt. Karena kepada-Nyalah tempat kembali semua urusan.
Kemudian pada ayat 16 dinyatakan:
¢Óo_ç6»tƒ !$pk¨XÎ) bÎ) à7s? tA$s)÷WÏB 7p¬6ym ô`ÏiB 5AyŠöyz `ä3tFsù Îû >ot÷|¹ ÷rr& Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÷rr& Îû ÇÚöF{$# ÏNù'tƒ $pkÍ5 ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ì#ÏÜs9 ׎Î7yz ÇÊÏÈ  
“( Lukman berkata): Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu berkata) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau dilangit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. [20]

Pada ayat ini Allah swt. mengabaikan nasihat Lukman kepada anaknya, bahwa suatu amalan, suatu karya atau usaha, yang baik ataupun yang buruk betapapun kecilnya, misalnya sebesar biji sawi yang halus, mungkin di dalam batu sehingga tersembunyi tidak ada orang lain yang nampak, ataupun di semua langit, terletak di salah satu langit yang tujuh, niscaya Allah akan mengetahui dan membalasnya.
Selanjutnya ayat 18 menggariskan:
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”[21]
Ayat ini mendidik manusia dalam pergaulan dengan masyarakat dengan etika yang baik,  berbudi pekerti, sopan santun, dan akhlaq yang tinggi, yaitu kalau sedang bercakap berhadapan dengan orang lain, hendaklah berhadapan muka, sebab menghadapkan muka sebagai pertanda berhadapan hati. Sedangkan Ibn Abbas yang dikutip oleh Hamka menafsirkan ayat ini berkata :
“janganlah takabbur dan memandang hina hamba Allah dan janganlah engkau palingkan muka engkau ke tempat lain ketika bercakap dengan orang lain.”[22]
Ajaran yang sama juga dimuat dalam ayat 19, yang berbunyi:
ôÅÁø%$#ur Îû šÍô±tB ôÙàÒøî$#ur `ÏB y7Ï?öq|¹ 4 ¨bÎ) ts3Rr& ÏNºuqô¹F{$# ßNöq|Ás9 ÎŽÏJptø:$# ÇÊÒÈ  
“Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.[23]

Ayat ini sebagai kelanjutan dari ayat 18 yang mendidik manusia untuk bertingkah laku dan bertindak tanduk  dengan sopan di tengah masyarakat, yaitu sederhana dalam berjalan dengan terlalu cepat, tergopoh-gopoh, terburu-buru, akan cepat lelahnya, dan jangan pula terlalu lambat tertegun, sebab akan membawa malas dan membuang waktu di jalan, melainkan hendaklah bersikap sederhana, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Demikian juga bila berbicara, jangan dengan suara keras, menghardik-hardik, menyerupai suara keledai, tidak enak di dengar.[24]
Oleh sebab itu, ayat ini juga mendidik manusia agar bersikap halus, bersuara lemah lembut, sehingga bunyi suara itupun menarik orang untuk memperhatikan apa yang dikatakan, sehingga menimbulkan simapti dari pendengar.

D.       Konseptualisasi dan relevansi Surah Lukman terhadap paradigma pendidikan moral yang berkarakter Islami: upaya integrasi “hidden curriculum” pada setiap mata pelajaran

Persoalan pendidikan moral memang harus diakui bukanlah persolan baru.  Banyak  ahli pendidikan dalam merumuskan konsep-konsep pendidikannya telah mengaitkan dan menjadikan moral sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan. Bahkan sering dikatakan bahwa terbentuknya moral yang baik pada subyek didik merupakan tujuan hakiki dari seluruh proses dan aktifitas pendidikan.
Dalam konteks pendidikan Islam, Muhammad ‘Athiyah al-Ibrasyi misalnya menegaskan bahwa pendidikan moral merupakan ruh pendidikan Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang berjiwa budi pekerti dan akhlaq yang bertujuan untuk mencapai akhlaq yang sempurna.[25]   Abdullah Nasih Ulwan juga menyatakan bahwa pendidikan moral merupakan serangkaian sendi moral, keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib dilakukan peserta didik, dibiasakan dan diusahakan sejak kecil.[26] Masalah moral secara normatif   seharusnya sudah implisit dalam setiap program pendidikan, atau dengan kalimat lain meskipun dalam setiap satuan pelajaran telah disisipkan “pendidikan moral” artinya upaya integrasi hidden curriculum[27] (kurikulum tersembunyi) ke dalam mata pelajaran tersebut, namun konseptualisasi sistem pendidikan moral secara khusus tetap diperlukan guna memberikan arah atau panduan kepada pelaku pendidikan dalam menjalankan sistem pendidikan.
Dengan demikian, kajian tentang konsep pendidikan moral secara spesifik bukan suatu hal yang mengada-ada dan tumpang tindih (overlapping) dengan konsep pendidikan secara umum. Artinya, pendidikan moral harus berdiri sendiri secara otonom untuk mengkaji moralitas manusia secara komprehensip.
Dalam perspektif Islam, konseptualisasi pendidikan moral secara filosofis dirasa semakin dibutuhkan , mengingat pemikiran itu dirasa kurang memadai. Hal ini dirasakan pada kenyataan masih belum jelasnya pemikiran filosofis, konsep-konsep atau teori-teori pendidikan Islam, dihadapkan dengan perkembangan peradaban manusia yang ditandai dengan adanya pergeseran nilai yang begitu cepat ditengah-tengah masyarakat seiring perkembangan sains dan teknologi. Dengan demikian, Islam ditantang untuk memberikan solusi dan pemikiran alternatif sekaligus sebagai koreksi diri atas kelemahan-kelemahan dari khasanah pemikiran yang dimiliki.[28]  
Sebagai bahan refleksi tentang pendidikan moral (akhlaq), penulis merujuk beberapa pemikiran tokoh besar baik yang muslim maupun non muslim sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil konsep-konsep pendidikan moral yang baik untuk dihidupkan dimasa sekarang dan mendatang.
Diantara tokoh pemikir muslim yang giat mengkaji masalah moral, jiwa dan pendidikan (Islam) adalah al-Ghazali. Menurut al-Ghazali yang dikutip Umiarso, pendidikan berintikan pada nilai-nilai budaya suatu masyarakat kepada individu yang ada di dalamnnya agar kehidupan dapat berkesinambungan. Perbedaan yang ada mungkin terletak pada nilai-nilai keislaman yang berdasarkan al-Qur’an dan sunah. Menurutnya, sumber moral adalah wahyu dan dia menolak rasio sebagai prinsip pengarah dalam tindakan etis manusia sehingga tidak dibutuhkan secara optimal. [29]
Berbeda dengan al-Ghazali, Emile Durkheim seorang ahli dan praktisi pendidikan, filsuf/moral, dalam pemikirannya tentang pendidikan moral lebih memilih masyarakat sebagai otoritas moral dalam rangka mengembangkan hakekat diri manusia. penegasan Durkheim semacam ini, merujuk  pada pendekatan spiritualisme sosiologis, yaitu sebuah kepercayaan bahwa sifat dan kepentingan dari keseluruhan dari masing-masing individu yang membentuk keseluruhan tidaklah sama.[30]
Terkait dengan materi pendidikan moral menurut Durkheim bukan bukan suatu materi yang harus dicantumkan dalam kurikulum atau pengajaran tertentu, akan tetapi hal ini merupakan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Jadi setiap guru harus memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik dari segi tingkah laku, sikap, pengetahuan saling menghormati dan lain sebagainya. Di salam sebuah sekolah tanggung jawab pokok untuk pembentukan moral tidaklah terletak pada intra kurikuler akan tetapi pada pengajar.[31]  
Selanjutnya dengan hidden curriculum seorang pengajar harus memiliki pandangan atau sikap yang terbuka dan tegas tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan benar dan salah, serta membiasakannya siswa bertingkah laku prososial di lingkungan sekolah. Selain itu masyarakat juga harus bisa disosialisasikan secara efektif untuk menunjukkan karakter moral prososialnya.
Dalam perspektif di atas, menurut penulis, konseptualisasi dan relevansi pendidikan moral dengan surah Lukman ayat 12-19 yakni: Pertama, sebagai pendidik, dalam proses pembelajaran harus memiliki kepribadian yang bijaksana, sebagai teladan dan panutan, bertanggung jawab atas apa yang menjadi tugasnya, membimbing dan mengarahkan peserta didik dan memilki integritas moral. Karena pendidikan bukan saja Transfer of knowledge, juga sebagai proses transfer of value. Kedua, sebagai peserta didik, sikap yang harus ditampilkan adalah adanya tanggung jawab terhadap amanah yang telah disampaikan oleh pendidik (guru, dosen, dan siapa saja yang melakukan proses transformasi pengetahuan/mendidik), jujur, patuh, taat, sebagaimana yang diperlihatkan oleh anak Lukman al-Hakim kepada bapaknya. Semua itu tidak lain adalah nilai-nilai moral yang harus dimiliki oleh peserta didik, karena dengan sifat itu maka tantangan modernisasi dan globalisasi  yang syarat dengan nuansa dekstruktif materialis mampu menjadi perisai peradaban.
Dalam kaitannya dengan relevansi dalam proses pembelajaran, menurut Soedijarto, ada tiga jenis relevansi yang bisa dijadikan sebagai landasan dalam penguatan pendidikan moral yang berkarakter, yakni: Pertama, Relevansi epistemologis terkait dengan berkembangnya kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan, baik ilmu pengetahuan atau pengetahuan yang terkait dengan nilai dan norma-norma. Kedua,  relevansi psikologis terkait dengan berkembangnya kemampuan dalam menerapkan prinsip ilmu pengetahuan atau nilai-nilai/norma-norma. Ketiga, relevansi moral-sosial menuntut nilai-nilai yang akan ditanamkan yang terkandung dalam suasana dan proses pembelajaran. Relevasi moral-sosial inilah yang sering disebut juga sebagai “hidden curriculum” , yang terdapat dalam sistem evaluasi dan proses pembelajaran maupun  peranan pendidik.[32]

E.        Pendekatan Penaggulangan Krisis Moral
Berkaitan dengan usaha untuk perbaikan “moral umat manusia” ini, dalam masyarakat sebenarnya manusia diharapkan dapat dan mampu memanusiakan dirinya atau diluar dirinya (hamanisasi). Manusia juga diharapkan untuk dapat memenangkan pergulatan dirinya yang setinggi-tingginya dalam mencapai harkat dan martabat kemanusiaanya. Tentunya dengan menghasilkan terlebih dahulu kondisi-kondisi tertentu, seperti; keadaan damai, ketenangan hidup sosial, kemakmuran yang merata dankebudayaan yang tinggi, sehingga dengan demikian akan mampu menyelenggarakan eksistensi dan memperjuangkan kesempurnaannya. Disamping itu alternatif dan solusi yang ditawarkan oleh banyak pihak dengan cara menggunakan berbagai macam pendekatan, yaitu:
Pertama, pendekatan Teologis yaitu, tolong menolong, persamaan dan menghormati martabat orang lain dianggap sebagai  nilai-nilai agamadan ajaran Tuhan yang harus dijunjung tinggi, dan pendekatan ini juga ditegaskan melalui tiga prinsip dasar pendidikan, yaitu knowing the truth, loving the good, dan acting freety.
Kedua, pendekatan interest yaitu subyek didik dalam melakukan aktifitas kemanusiaan haruslah selalu ditanamkan rasa senang terhadap segala hal yang dihadapinya dan yang menjadi intinya adalah senang dalam melakukan pekerjaan tanpa material profit oriented.
Ketiga, Moral approach  (pendidikan-pendidikan akhlaq yang mulia), dan pendekatan melalui visi agama. Pendekatan ini merupakan alternatif yang boleh jadi sangat menjanjikan, sebab langsung menuju pada sasaran yang menjadi akar permasalahannya yaitu manusianya bukan sistemnya. [33]
                                                          
F.        P e n u t u p
Setelah mencermati problem pendidikan di Indonesia, agaknya tidak berlebihan bila penulis memberikan intepretasi bahwa globalisasi telah membuka ruang yang luar biasa dalam pengembangan pendidikan yang progres dan respek terhadap kebutuhan manusia. Pendidikan sebagai proses transfer of knowledge dan transfer of value tidak hanya pressure terhadap peningkatan kualitas intelektual, tetapi juga sebagai  transformasi nilai etis budaya progresif yang menuntut adanya nilai-nilai moral yang berorientasi membangun karakter bangsa yang tangguh, sehingga tidak  terbelenggu oleh arus perubahan global.
Bila dilihat secara holistik problem pendidikan tersebut, maka wajar banyak kalangan menilai bahwa pendidikan nasional (termasuk pendidikan Islam) dengan seabrek kurikulumnya “gagal” memberikan kontribusi terutama dalam hal moral/akhlaq, budi pekerti, dll . Dan ini berimbas pada muncul kasus-kasus asusila  (baca:amora) yang jauh dari harapan dan cita-cita pendidikan yang temaktub dalam Undang-Undang sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, dimana kontennya menekankan pada membangun pendidikan yang bermoral dan berkarakter.  
Dengan demikian, reorientasi dan rekonstruksi harus segera dilakukan sebagai refleksi terhadap kegagalan itu. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, diantaranya adalah kembali pada pesan-pesan al-quran dimana mengandung nilai-nilai pendidikan terutama pendidikan moral/akhlaq,etika, budi pekerti (baca: karakter Islami),  sebagaimana terdapat dalam surah Lukman ayat 12-19. Karena pada prinsipnya al-Qur’an layak disebut sebagai referensi pendidikan yang paling agung dan mulia. Mungkinkah pendidikan kita akan berubah? Wallahu a’lam bissawab…!


[1] Nurul Zuriyah, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Bumi Aksara, 2007), hlm. VI
[2] Soedijarto, Beberapa Catatan Terhadap Pendidikan Moral dalam Penyelenggaraan Pendidikan Nasional, dalam Antologi “Mereka Bicara Pendidikan Islam”, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 83
[3] Martin Buber, Between Man and Man, (New York, McMillan Co, 1969), hlm 79
[4] Lihat Undang-UndangRepublik Indonesia  No .20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS (Bandung, Citra Umbara, 2010)
[5] Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Ciputat, CRSD Press, 2007), hlm, 175.
[6] Ibid, hlm. 176
[7] Soedijardo, Beberapa Catatan, hlm. 90
[8] Lihat, Ismail SM (editor), dkk., Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 234
[9] Ahmad Janan, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan Islam (Tinjauan Filososfis), (Yogyakarta, Suka Press, 2009), hlm. 12-13
[10] Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan sosial: Suatu Teori Pendidikan, (Yogyakarta, Raka Sasarin, 1993), hlm. 12
[11] Ibid, hlm. 13
[12] Selengkapnya tentang cerita Lukman al-Hakim lihat kitab suci al-qur’an, yang di dalamnya mengandung pesan dan nilai moral yang tinggi. Kemudian nilai moral itu dapat dijadikan sebagai landasan yang kuat untuk menkonstruksi pendidikan yang berkarakter dan berperadaban.
[13] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz XXI (Jakarta, Pustaka al-Islam, 1982), hlm. 161 

[14] Lihat al-Qur’an dan terjemahan
[15] Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir fi’al aqidah wa al-syari’ah wa al-Manhaj, juz XXI (Damsyiq: Dar al-Fiqr al-Ma’ashir, 1991.
[16] Ibid
[17] Lihat al-Qur’an dan terjemahan
[18] ibid
[19] Armani Arief, Reformulasi  Pendidikan Islam, hlm. 192
[20] Lihat al-Qur’an dan Terjemahannya
[21] ibid
[22] Hamka, Tafsir al-Azhar, hlm. 165
[23] Lihat al-Qur’an dan Terjemahan
[24] Hamka, Tafsir al-Azhar, hlm. 165
[25] M. Athiyah al-Ibrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami dan Johan Bahry, (Jakarta, Bulan Bintang, 1970), hlm. 1
[26] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Memelihara kesehatan Jiwa, Terj. Khalilullah Ahmad Masykur, (Bandung. PT. Remaja Rosda Karya, 1990), hlm. 169
[27] Istilah Hidden Curriculum (kurikulum tersembunyi) berasal dari philip Jackson, maksudnya adalah tingkah laku, sikap, cara bicara, dan perlakuan guru terhadap murid-muridnya menyampaikan pesan-pesan moralnya tertentu yang tidak ada dalam kurikulum eksplisit. Begitu juga sebaliknya sifat murid-murid dalam proses pembelajaran harus memperlihatkan nilai moral etis, sehingga prosen pendidikan bermuara pada apa yang menjadi tujuan pendidikan itu.
[28] Umiarso, dkk., Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern: Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik, (Yogyakarta, IRCiSoD, 2010), hlm. 136
[29] Ibid, hlm.138-139
[30] ibid
[31] Ibid, hlm, 173
[32] Soedijarto, dalam Mereka bicara Pendidikan Islam, hlm. 92
[33] http//www. Blogspot/moral pendidikan/id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Sample Text

Sample text

300 x 250 Ad

Ads 468x60px

Postagens populares

Followers

Sidebar menu